Saturday, June 22, 2013

“ Etnisitas dalam pembentukan “ Nation and Character Building ”




KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah swt. yang masih memberikan kesehatan dan kesempatannya kepada kami semua. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Berikut ini, kami persembahkan sebuah makalah (karya tulis) yang berjudul Etnisitas Dalam Pembentukan “Nation and Character Building”. Kami mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua, terutama bagi kami. Kepada pembaca yang budiman, jika terdapat kekurangan atau kekeliruan dalam makalah ini, kami mohon maaf karena kami masih dalam tahap belajar.
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata kuliah Pendidikan IPS 1`. Semoga Allah memberkahi makalah ini sehingga dapat benar-benar bermanfaat.




                                                                                                Sukabumi,      Oktober  2012



                                                                                                            Penyusun







DAFTAR ISI
Cover………………………………………………………………………………………………1
Kata Pengatar……………………………………………………………………….……………..2
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..3
BAB I PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang……….……………………………………………………………………4
1.2              Rumusan Masalah……………………………………………………..............................5
1.3              Tujuan Makalah…………………………………………………………………………...5
1.4              Sistematika Penulisan……………………………………………………………………..5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1      Pengertian etnis, etnisasi dan ‘nation and character building’……………………………..6
BAB III PEMBAHASAN
3.1       Pengaruh barat dan kebudayaan Nasional.…………………...............................................7
3.2       Hubungan antara manusia, masyarakat, dan kebudayaan.……………..…………………..8
3.3       Makna pengabdian……………………………………...………………………….……..11
3.4       Pengaruh Etnisitas dalam pembentukan “nation and character building”………….….…12
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan……..………..……………………………………………………………..........15   
DAFTAR PUSTAKA …………………………..…..………..………………………………….16





BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Saat ini Indonesia berada di tengah era baru, yang dinamakan era reformasi. Kondisi  mengemuka sebagai tantangan di berbagai bidang, baik di bidang ekonomi, politik, dan sosial budayanya. Masalah-masalah kita sebagai bangsa memang kompleks, seiring dengan makin berkembangnya dinamika zaman, seperti arus globalisasi yang demikian mengalir secara deras dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa. Kebudayaan Indonesia yang menjadi identitas etnis atau suku bangsa yang tadinya dianggap mempunyai batas- batas yang jelaspun kini juga berubah. Perubahan ini berkaitan dengan faktor geografis dan nilai-nilai yang dibagi bersama yang dianggap pengikat dalam membentuk masyarakat. Faktor geografis berkaitan dengan wilayah geografis etnis yang tidak lagi terbatasi. Seperti orang Jawa yang ada di Suriname atau orang Cina di Kalimantan. Batas-batas geografis itu tidak lagi menjadi jelas karena tingkat mobilitas gerak orang sudah demikian meluas dan intensifnya. Demikian pula dengan faktor nilai-nilai yang dibagi bersama menjadi nilai-nilai yang sifatnya universal antar etnis, bahkan antar bangsa, sesuai dengan konteks dan setting sosial yang berbeda.
Sementara itu, Prof HAR Tilaar yang merupakan tokoh pendidikan nasional menilai, “Menjadi Indonesia itu memerlukan waktu yang cukup panjang. Indonesia kita ini terdiri dari banyak suku bangsa atau etnis, dari etnis inilah kita bersama-sama bertekad untuk membangun Indonesia. Jadi, dasar dari Meng-Indonesia itu adalah Etnisitas yang dikembangkan dalam Bhinneka Tunggal Ika,” terangnya. Saat ini yang namanya Indonesia itu masih belum dapat dicapai, tetapi kita masih dalam proses untuk menjadi Indonesia. Oleh karena itu ‘Meng-Indonesia’ itu merupakan suatu proses menjadi Indonesia yang di dalam sejarah perkembangan manusia, naik turun di mana kadang kuat dan kadang melemah.
Konsep Indonesia sebagai bangsa, yang mengacu kepada sejarah, kebudayaan, bahasa, dan karakter etnik yang relatif sama mulai diperdebatkan kembali. Fenomena ini muncul sebagai akibat rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat etnik-etnik tertentu karena dominasi pusat kepada daerah, yang kemudian berkembang menjadi dominasi suku bangsa tertentu kepada suku bangsa yang lain. Rasa ketidakadilan ini kemudian berujung kepada konflik-konflik sosial antar etnik (Parsudi Suparlan, 1999: 8-17). Rasa ketidakadilan tersebut memunculkan keinginan etnik-etnik tersebut untuk melepaskan diri dari kesepakatan mereka untuk berbangsa dan bernegara yang sama, yaitu Indonesia. Munculah Papua merdeka, Aceh Merdeka dan lain-lain.
1.2 Rumusan Masalah
A.    Bagaimana hubungan antara manusia, masyarakat, dan kebudayaan?
B.     Apakah pengaruh barat dan kebudayaan Naional itu ?
C.     Apakah makna pengabdian itu ?
D.    Bagaimana pengaruh Etnisitas itu sendiri terhadap pembentukan “nation and character building”?
1.3  Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua.
1.4  Sistematika Makalah
A.    Pendahuluan
1.       Latar Belakang
2.       Rumusan Masalah
3.       Prosedur pemecahan masalah
4.      Sistematika Makalah
B.     Tinjauan teoritis
1.      Pengertian etnis, etnisasi dan ‘nation and character building’
C.     Pembahasan
1.      Pengaruh etnisitas terhadap pembentukan “nation and character building” Indonesia.
2.      Dampak globalisasi terhadap etnisitas di Indonesia saat ini
3.       Pengaruh etnisitas terhadap demokrasi di Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
D.    Penutup
1.      Kesimpulan
2.       Saran
E.     Daftar Pustaka



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian etnis, etnisasi dan ‘nation and character building’
a)      Etnis
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnis atau etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.
Schemerhon dalam Purwanto (2007) mendefinisikan etnik sebagai kolektiva yang memiliki persamaan asal nenek moyang, baik secara nyata maupun semu, memiliki pengalaman sejarah yang sama, dan suatu kesamaan fokus budaya yang terpusat pada unsur-unsur simbolik yang melambangkan persamaan ciri-ciri fenotipe, religi, bahasa, pola kekerabatan, dan gabungan unsur-unsur itu.
b)     Etnisitas
Etnisitas adalah suku bangsa, yakni berkaitan dengan kesadaran akan kesamaan tradisi budaya, biologis, dan jati diri sebagai suatu kelompok (Tilaar, 2007:4-5) dalam suatu masyarakat yang lebih luas.
c)      Nation and character building
Nation and character building merupakan pembangunan karakter dan bangsa. Ernest Renan berpendapat, nation atau bangsa ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran akan pentingnya berkorban dan hidup bersama-sama di tengah perbedaan, dan mereka dipersatukan oleh adanya visi bersama. Sedangkan arti karakter itu sendiri berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pembangunan karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk, khususnya disini bangsa yakni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Pengaruh Barat dan Kebudayaan Nasional
Kebudayaan Barat yang disebut kebudayaan modern itu bermula pada zaman Renaisance. Ketika Vasco da Gama sebagai wakil kebudayaan Barat berhasil mengelilingi Afrika dan mendarat di Kalikut, maka terbentanglah bagi seluruh Asia suatu sejarah baru. Sejak itulah bangsa Eropa yang sudah modern itu berbondong-bondong datang ke Asia dan secara perlahan-lahan membenamkan cengkeraman kuku penjajahnya, yamg membuat sengsara bangsa-bangsa di benua ini, termasuk Indonesia. Bangsa-bangsa Portugis, Inggris dan Belanda saling berdatangan ke Nusantara kita. Kedatangan mereka yang semula berlatar belakang perdagangan itu kemudian berubah menjadi penjajahan.
Bangsa Belandalah yang dalam hal ini paling berperan. Karena kurang lebih 300 tahun lamanya berhasil menancapkan kuku-kuku penjajahannya ke tubuh Indonesia. Kira-kira pada abad ke 19 situasi mulai berubah ketika pemerintah Hindia-Belanda dengan sedikit demi sedikit memberi kesempatan kepada para pemuda Indonesia   untuk bersekolah yaitu suatu cara belajar system barat yang belum pernah dikenal sebelumnya. Kira-kira pada pertengahan abad 20 sejumlah pemuda Indonesia sudah berhasil menghirup ilmu modern Barat itu melalui sistem pendidikan Belanda, dari berbagai jurusan ilmu (misalnya kedokteran, teknik, hukum  dan sebagainya). Mereka inilah yang bagaikan senajata makan tuan kemudian membuka mata bangsa Indonesia akan haknya sebagai manusia yang bebas, sehingga bangkit melawan penjajah dan akhirnya merdeka.
Pertemuan dengan bangsa-bangsa Eropa telah memperkenalkan kepada kita unsur-unsur budaya sebagai berikut : ilmu pengetahuan /tekhnologi, system sosial, system ekonomi,peralatan bahasa Eropa, kesenian dan agama Kristen. Di samping itu mereka juga memperkenalkan huruf dan tulisan latin yang merupakan unsur penting bagi terbuka lebarnya komunikasi budaya Internasional. Memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kebudayaan barat besar sekali sumbangannya di bidang ilmu pengetahuan /tekhnologi, system ekonomi, system demokrasi bagi masyarakat Indonesia. Pengaruh kebudayaan barat sangat nyata dengan adanya proses modernisasi kehidupan masyarakat kita.
System pengetahuan dan tekhnologi serta ekonomi barat telah mampu memecahkan berbagai problemasosial masyarakat di Eropa. Demikan juga hal yang sama pasti bisa terapkan kepada masyarakat kita. Masyarakat Indonesia yang sudah ditakdirkan hidup di tengah alam yang berkelimpahan ini, agaknya telah terbuai oleh karunia tersebut.
Masyarakat yang sudah dimanja oleh alam, akan lemah dalam juangnya, bila pada saatnya menghadapi situasi yang sukar dan gawat, karena tidak terlatih untuk menghadapi tantangan. Dalam kenyataan saat ini jelas alam kita tidak lagi begitu bermurah dan bermanfaat kepada manusia Indonesia, berbeda situasinya dengan dahulu kala. Kepadatan penduduk dan tidak baik proses eksploitasi alam menyebabkan ketimpangan-ketimpangan. Menghadapi kenyataan ini, tidak bisa tidak kita harus berani melepaskan diri dari buaian yang menjerumuskan itu, dan bangkit mempersiapkan diri untuk menaklukan alam, demi mempertahankan hidup. Cara satu-satunya ialah menguasai tekhnologi modern itu. Metode tradisional sudah harus ditinggalkan karena tidak relevan dan tidak mampu lagi memecahkan masalah kehidupan sosial ekonomi yang semakin menekan ini.
Sistem demokrasi barat telah merpercepat bangsa  kita untuk menggalang solidaritas masyarakat terutama sesudah lepas dari penjajahan, untuk menyusun sistem sosial dan organisasi pemerintahan yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Penguasaan bahasa Eropa oleh bangsa kita, memperluas hubungan kita dengan dunia Internasional dan sekaligus membukas lebar kesempatan untuk ambil alih ilmu dan teknologi modern itu. Jadi unsur yang menonjol dari kebudayaan barat itu adalah sistem ilmu  pengetahuan /tekhnologi, sistem  ekonominya.
Tekanan-tekanan budaya barat terhadap budaya Indonesia sebelumnya, yaitu anasir asli, Hindu dan Islam, memanglah cukup berat. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat belum mau demikian saja meninggalkan unsur kebudayaan tradisionalnya. Mereka masih memadukan unsur-unsur modern dan tradisional. [[1]]

3.2  Hubungan antara manusia, masyarakat dan kebudayaan
1)      Hubungan manusia dengan masyarakat
 Manusia hidupnya selalu di dalam masyarakat. Hal ini bukan hanya sekedar ketentuan semata-mata, melainkan mempunyai arti yang lebih dalam yaitu bahwa hidup bermasyarakat itu adalah rukun bagi manusia agar benar-benar dapat mengembangkan budayannya dan mencapai kebudayaannya. Tanpa masyarakat hidup manusia tidak dapat menunjukkan sifat-sifat kemanusiaan. Misalnya Casper Hauser yang berumur 18 tahun adalah anak yang diketemukan di Neurenberg (Jerman) belum pernah hidup bermasyarakat. Ternyata setelah dibawa ke dalam kehidupan masyarakat, ia tidak dapat berjalan dan berbahasa.
2)      Hubungan manusia dengan kebudayaan
Dipandang dari sudut antropologi, manusia dapat ditinjau dari  2 segi, yaitu
·         Manusia sebagai makhluk biologi
·         Manusia sebagai mkhluk sosio-budaya
Sebagai makhluk biologi, manusia dipelajari dalam ilmu biologi atau anatomi dan sebagai makhluk sosio-budaya manusia dipelajari dalam antropologi budaya.  Antropologi budaya manusia menyelidiki seluruh cara hidup manusia, bagaimana manusia  dengan akal budinya dan struktur fisiknya dapat mengubah lingkungan  berdasarkan pengalaman. Juga memahami, menuliskan kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat manusia.
Akhirnya terdapat suatu konsepsi tentang kebudayan manusia yang menganalisis masalah-masalah hidup sosial-kebudayaan manusia. Konsepsi tersebut ternyata memberi gambaran kepada kita bahwasannya hanya manusialah yang mampu berkebudayaan. Sedangkan pada hewan tidak memiliki kemampuan tersebut. Mengapa hanya manusia saja yang memiliki kebudayaan? Hal ini dikarenakan manusia dapat belajar dan dapat memahami bahasa, yang kesemuanya itu bersumber pada akal manusia.
Kesimpulannya: bahwa hanya manusialah yang dapat menghasilkan kebudayaan, dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa manusia.
3)      Hubungan masyarakat dengan kebudayaan
Masyarakat adalah kumpulan manusia yang hidup dalam suatu daerah tertentu, yang telah cukup lama, dan mempunyai aturan-aturan yang mengatur mereka, untuk menuju kepada tujuan yang sama.
Dalam masyarakat tersebut manusia selalu memperoleh kecakapan, pengetahuan-pengetahuan sehingga penimbunan (petandon) itu dalam keadaan yang sehat dan selalu bertambah isinya. Memang kebudayaan itu bersifat comulatif, bertimbun. Dapat diibaratkan: manusia adalah sumber kebudayaan, dan masyarakat adalah danau besar, dimana air dari sumber-sumber itu mengalir dan tertando. Manusia mengangsu/mengambil air dari danau itu. Maka dapatlah dikatakan manusia itu “mengangsu apikulan warih” (ambil air berpikulan air), sehingga tidaklah habis air dalam danau itu, melainkan bertambah banyak karena selalu ditambah oleh orang yang mengangsu itu. Jadi erat sekali hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan. Kebudayaan tak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat, dan eksistensi masyarakat itu hanya dapat dimungkinkan oleh adanya kebudayaan.
4)      Hubungan manusia, masyarakat dan kebudayaan
Dengan melihat uraian tersebut diatas, maka ternyata manusia masyarakat dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat lagi dipisahkan dalam artinya yang utuh. Karena ketiga unsur inilah kehidupan makhluk sosial berlangsung.
Masyarakat tidak dapat dipisahkan dari pada manusia karena hanya manusia saja yang hidup bermasyarakat yaitu hidup bersama-sama dengan manusia lain dan saling memandang sebagai penanggung kewajiban dan hak. Sebaliknya manusia pun tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Seorang manusia yang tidak pernah mengalami hidup bermasyarakat tidak dapat menunaikan bakat-bakat manusianya yaitu mencapai kebudayaan. Dengan kata lain dimana orang hidup bermasyarakat, pasti akan timbul kebudayaan.
Adanya kebudayaan didalam masyarakat itu merupakan bantuan yang besar sekali pada individu-individu, baik sejak permulaan adanya masyarakat sampai kini, didalam melatih dirinya memperoleh dunianya yang baru. Dari setiap generasi manusia, tidak lagi memulai dan menggali yang baru, tetapi menyempurnakan bahan-bahan lama menjadi yang baru dengan berbagai macam cara, kemudian sebagai anggota generasi yang baru itu telah menjadi kewajiban meneruskan kegenerasi selanjutnya segala apa yang mereka pelajari dari masa lampau dan apa yang mereka sendiri telah tambahkan pada keseluruhan aspek kebudayaan itu.
Setiap kebudayaan adalah sebagai jalan atau arah didalam bertindak dan berfikir, sehubungan dengan pengalaman-pengalaman yang fundamental, dari sebab itulah kebudayaan itu tidak dapat dilepaskan dengan individu dan masyarakat. Dan akhirnya dimana manusia hidup bermasyarakat disanalah ada kebudayaan, dan kesemuanya menjadi benda penyelidikan sosiologi.
3.3  Makna Pengabdian
Pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa pikiran,pendapat ataupun tenaga sebagai perwujudan kesetiaan antara lain kepada raja, cinta, kasih sayang, hormat, atau suatu ikatan dan semua dilakukan dengan ikhlas.
Timbulnya pengabdian itu hakikatnya ada rasa tanggung jawab. Apabila kita bekerja dari pagi sampai sore hari di beberapa tempat untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kita, itu bearti pengabdi kepada keluarga karena kasih sayang kita kepada keluarga.
Lain halnya jika keluarga kita membantu teman, karena ada kesulitan, mungkin sampai berhari-hari ikut menyelesaikannya sampai tuntas, ibu bukan pengabdian, tetapi hanya bantuan saja.
1.      Pengabdian Kepada Keluarga
Pada hakikatnya manusia hidup berkeluarga. Hidup berkeluarga ini didasarkan atas cinta dan kasih sayang. Kasih sayang ini mengandung pengertian pengabdian dan pengorbanan. Tidak ada kasih sayang tanpa pengabdian. Bila ada kasih sayang tidak disertai pengabdian, berarti kasih sayang itu palsu atau semu. Pengabdian kepada keluarga ini dapat berupa pengabdian kepada istri dan anak-anak, istri kepada suami dan anak-anaknya, atau anak-anak kepada orangtua.
2.      Pengabdian kepada masyarakat
Manusia adalah anggota masyarakat, ia tak dapat hidup tanpa orang lain, karena tiap-tiap orang saling membutuhkan.Bila seseorang yang hidup di masyarakat tidak mau memasyarakatkan diri dan selalu mengasingkan diri, maka apabila mempunyai kesulitan yang luar biasa. Ia akan di tertawakan oleh masyarakat; cepat atau lambat ia akan menyadari dan menyerah kepada masyarakat lingkungannya.
Oleh karena itu, demi masyarakat, anggota masyarakat harus mau mengabdi diri kepada masyarakat. Ia harus mempunyai rasa tanggung jawab kepada masyarakat. Oleh karena nama baik tempat ia tinggal,membawa nama baiknya pula. Bila remaja masyarakat kampungnya terkenal dengan ” remaja berandal “ suka berkelahi, mengganggu orang, atau merampas hak orang lain maka bagaimana pun juga ia akan merasa malu.
3.      Pengabdian Kepada Negara
Manusia pada hakikatnya adalah bagian dari suatu bangsa atau warga negara suatu negara. Karena itu seseorang wajib mencintai bangsa dan negaranya. Mencintai ini biasanya di wujudkan dalam bentuk pengabdian. Banyak contoh pengabdian kepada bangsa dan negara dalam kehidupan.
4.      Pengabdian Kepada Tuhan
Manusia tidak ada dengan sendirinya, tetapi merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan manusia wajib mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian berarti penyerahan diri sepenuhya kepada Tuhan, dan itu merupakan perwujudan tanggung jawabnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.[[2]]
v  Dapat disimpulkan bahwa :
Pengabdian adalah perbuatan manusia baik yang berupa pikiran, pendapat, ataupun tenaga sebagai perwujudan kesetian cinta, kasih sayang, hormat, atau suatu ikatan dan semua dilakukan secara ikhlas. Pengabdian pada dasarnya adalah rasa tanggung jawab.
Manusia hidup berkeluarga, karena itu manusia wajib mengabdi kepada keluarga, karena anggota masyarakat, manusia wajib mengabdi kepada masyarakat. Manusia sebagai anggota suatu bangsa dan warga negara suatu negara, wajib mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Karena manusia makhluk ciptaan Tuhan, maka manusia wajib mengabdi kepada Tuhan.

3.4  Pengaruh Etnisitas terhadap pembentukan “nation and character building” Indonesia
Nasionalisme atau rasa dan tanggung jawab kebangsaan tersebut merupakan sesuatu yang penting di dalam proses “character and nation building”. Tidak ada bangsa hadir tanpa nasionalisme, tentu saja dengan kadar dan konteks masing-masing, sesuai dengan histori dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Nasionalisme dan proses berbangsa, justru baru dimulai dan memperoleh tantangan-tantangan baru setelah bangsa itu sendiri hadir, dengan berbagai adat istiadat dan segala keunikannya yang dapat membentuk pembangunan karakter bangsa Indonesia dengan ciri dan karakteristik yang milikinya, yang tentunya tetap satu berbhineka tunggal ika. Kesadaran nasionalisme Indonesia itu sendiri sebagai proses dalam mencapai pembangunan karakter bangsa tak lepas dari era kebangkitan nasional 1908, dan Sumpah pemuda 1928 yang telah meninggalkan dokumen amat mendasar sebagai wujud dari adanya kesamaan nasib dan solidaritas bersama untuk bertanah air, bertumpah darah, dan berbahasa satu, bahasa Indonesia. Jadi rasa meng-Indonesia tumbuh atas kesadaran bersama segenap elemen yang ada untuk bersama-sama mewujudkan, memelihara dan memajukannya, tanpa memandang etnis atau suku manapun, yang seharusnya itu semua menjadi satu yakni pemersatu bangsa Indonesia. Indonesia hadir bukan atas pemberian kaum penjajah. Ini suatu modal sejarah yang amat berharga.
Di atas telah disinggung bahwa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beragam suku bangsa, etnisitas, bahasa, agama, dan adat-istiadat, yang satu sama lain saling memperkaya bangunan kebangsaan yang plural dan kokoh. Dengan kata lain, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Komposisi keragaman dan kemajemukan bangsa merupakan suatu realitas objektif, yang merupakan modal berharga bagi pembentukan jati diri dan karakter bangsa, yang mana diikat pula oleh konsensus dasar Negara kita yaitu Pancasila.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ada pada saat ini memiliki sejarah yang panjang, mengalami beberapa fase penjajahan bangsa asing. Dengan pengalaman yang panjang tersebut, para Bapak Bangsa (The Founding Father’s) merumuskan konsepsi dasar yang tepat bagi kehadiran sebuah negara dan bangsa baru bernama Indonesia. Sejak kemerdekaannya 17 Agustus 1945 hingga kini, sesungguhnya bangsa Indonesia tengah berupaya untuk memperkokoh “nation and character building”. Sebagai bangsa yang telah berusia setengah abad lebih, Indonesia terus berproses dan berkembang seiring dengan “nation and character building” tersebut. Selama ini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang harmonis, ramah, dan tingkat toleransi yang tinggi. Kesan demikian, khususnya pada era reformasi tampak kian pudar, seiring dengan munculnya banyak konflik sosial secara horisontal di kalangan masyarakat, dan banyaknya kerusuhan sosial yang terjadi. Tentu saja berbagai kejadian yang muncul tersebut menodai proses “nation and character building”. Kini saatnya bangsa Indonesia menunjukkan kembali karakternya sebagai bangsa yang ber-Pancasila dan bermartabat.
Betapapun kompleksnya tantangan yang kita hadapi, kita harus tetap mencintai bangsa ini. Bangsa di mana kita dilahirkan dan dibesarkan, dengan berbagai macam etnis didalamnya yang tentunya dapat menjadi pengaruh positif bagi pembentukan pembangunan karakter bangsa disertai satu bahasa nasional, satu dasar Negara yaitu Pancasila yang menjadi pemersatu bangsa, yang memberikan harapan akan masa depan bagi kita semua, bangsa Indonesia. Dan kita pun harus mengembangkan rasa tanggung jawab, di samping secara mendasar kita harus memahami hakikat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki nilai-nilai dasar (basic values) Pancasila, sebagai karakter bangsa Indonesia yang diharapkan, yakni bangsa yang:
1)      Ber-Ketuhanan yang Maha esa
2)      Ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab
3)      Senantiasa berada dalam Persatuan Indonesia
4)      Melaksanakan Permusyawaratan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan
5)      Mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah konsensus dasar kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Etnisitas dalam konteks Indonesia akan dapat berperan penting di dalam pembentukan karakter pembangunan bangsa. Hal-hal di atas adalah realitas-realitas obyektif atau kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia adalah negara besar dan plural. Besar karena, wilayahnya yang amat luas dan jumlah penduduknya yang demikian banyak. Plural, karena kenekaragaman budaya (suku/etnis, ras, adat-istiadat, bahasa dan agama). Faktor etnisitas tadi jika ditransformasikan secara produktif, akan menyumbangkan pertumbuhan kehidupan demokrasi yang baik dan menjadi ciri karakteristik bangsa dengan berbagai budayanya yang ada,namun tetap berbhineka tunggal ika. Tetapi juga sebaliknya bisa memicu konflik jika setiap kelompok gagal membangun sikap solidaritas sebagai warga Negara dan bangsa (nation-state).










BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Pada pertengahan abad 20 sejumlah pemuda Indonesia sudah berhasil menghirup ilmu modern Barat itu melalui sistem pendidikan Belanda, dari berbagai jurusan ilmu (misalnya kedokteran, teknik, hukum  dan sebagainya). Mereka inilah yang bagaikan senajata makan tuan kemudian membuka mata bangsa Indonesia akan haknya sebagai manusia yang bebas, sehingga bangkit melawan penjajah dan akhirnya merdeka.
Setiap kebudayaan adalah sebagai jalan atau arah didalam bertindak dan berfikir, sehubungan dengan pengalaman-pengalaman yang fundamental, dari sebab itulah kebudayaan itu tidak dapat dilepaskan dengan individu dan masyarakat. Dan akhirnya dimana manusia hidup bermasyarakat disanalah ada kebudayaan, dan kesemuanya menjadi benda penyelidikan sosiologi.
Pengabdian adalah perbuatan manusia baik yang berupa pikiran, pendapat, ataupun tenaga sebagai perwujudan kesetian cinta, kasih sayang, hormat, atau suatu ikatan dan semua dilakukan secara ikhlas. Pengabdian pada dasarnya adalah rasa tanggung jawab. Manusia hidup berkeluarga, karena itu manusia wajib mengabdi kepada keluarga, karena anggota masyarakat, manusia wajib mengabdi kepada masyarakat. Manusia sebagai anggota suatu bangsa dan warga negara suatu negara, wajib mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Karena manusia makhluk ciptaan Tuhan, maka manusia wajib mengabdi kepada Tuhan.
Etnisitas tentunya dapat berperan penting di dalam pembentukan karakter pembangunan bangsa. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia adalah negara besar dan plural. Besar karena, wilayahnya yang amat luas dan jumlah penduduknya yang demikian banyak. Plural, karena kenekaragaman budaya (suku/etnis, ras, adat-istiadat, bahasa dan agama). Faktor etnisitas jika ditransformasikan secara produktif, akan menyumbangkan pertumbuhan kehidupan demokrasi yang baik dan menjadi ciri karakteristik bangsa dengan berbagai budayanya yang ada,namun tetap berbhineka tunggal ika. Tetapi juga sebaliknya bisa memicu konflik jika setiap kelompok gagal membangun sikap solidaritas sebagai warga Negara dan bangsa (nation-state).

DAFTAR PUSTAKA

·         Suryadi M.P, Drs. Buku Materi Pokok Ilmu Budaya Dasar, Depdikbud UT, Buku I – II, 1985
·         Suprihadi Sastrosupon, M., Ilmu Budaya Dasar, UKSW, Salatiga, 1987
·         http://riezaarif.blogspot.com/2010/04/etnisitas-dalam-pembentukan-nation-and.html



[1] M. Suprihadi Sastro Supono, Ilmu Budaya Dasar, UKSW, Salatiga, 1987, hal 53
[2] Drs. Suryadi, M. P., Buku Materi Pokok Ilmu Budaya Dasar, Depdikbub, 1984, hal. 97

No comments:

Post a Comment